Skip to Content

Pernikahan Dini dan Tradisi yang Membungkam Masa Depan

Nurul Hikmah (Mahasiswi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare)
July 22, 2022 by
Pernikahan Dini dan Tradisi yang Membungkam Masa Depan
Admin Web HKI
| No comments yet

Di banyak wilayah Indonesia, masa remaja seringkali bukanlah waktu untuk belajar dan bermimpi, melainkan waktu di mana anak-anak terutama perempuan dipaksa menjalani tanggung jawab dewasa jauh sebelum waktunya. Pernikahan dini masih menjadi praktik yang mengakar kuat dalam tradisi beberapa komunitas. Meski dikemas dalam bingkai pelestarian budaya dan menjaga kehormatan keluarga, nyatanya pernikahan dini menimbulkan berbagai masalah serius yang membayangi masa depan para anak muda itu.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 10% perempuan usia 20–24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun pada tahun 2023. Angka ini tidak hanya menunjukkan prevalensi tinggi, tetapi juga menegaskan bahwa tradisi dan norma sosial masih sangat kuat memengaruhi praktik ini. Tradisi sering kali dijadikan alasan utama, terutama dalam komunitas yang masih menganggap usia muda sebagai waktu tepat untuk menikah agar anak-anak “cepat mandiri” atau menghindari “malu” akibat kehamilan di luar nikah. Namun, benarkah tradisi ini melindungi masa depan anak-anak? Sayangnya, fakta dan realita berbicara sebaliknya.

Tradisi yang Menjadi Jerat

Di banyak daerah, tradisi mengatur bahwa anak perempuan menikah sebelum atau sesaat setelah menginjak masa pubertas. Tekanan keluarga, lingkungan sosial, bahkan tokoh adat dan agama, sering kali mendorong pernikahan dini. Mereka beranggapan bahwa menikahkan anak pada usia muda dapat menjaga kehormatan keluarga dan mencegah perilaku negatif seperti pacaran bebas atau kehamilan tidak sah. Namun, konsep ini adalah bentuk pengorbanan masa depan anak demi mempertahankan citra sosial yang rapuh.

Tradisi yang mengekang ini sebenarnya telah membelenggu banyak anak dalam lingkaran kemiskinan dan ketergantungan. Alih-alih melindungi, tradisi semacam itu membungkam aspirasi dan hak-hak dasar anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi dan pilihannya sendiri.

Dampak Pernikahan Dini yang Menghantui

Dampak dari pernikahan dini sangat beragam dan berdampak jangka panjang. Secara psikologis, anak-anak yang menikah dini belum siap menghadapi kompleksitas peran sebagai suami atau istri. Mereka rentan mengalami tekanan mental dan stres, yang berpotensi menimbulkan konflik dalam rumah tangga. Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga bahkan berawal dari ketidaksiapan dan ketidakmatangan emosional ini.

Dari segi pendidikan, pernikahan dini kerap memutus akses anak—khususnya perempuan—untuk melanjutkan sekolah. Mereka berhenti belajar karena harus mengurus rumah tangga atau menjalani kehamilan. Hal ini jelas menghambat peluang mereka untuk memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang penting guna meningkatkan kualitas hidup.

Masalah kesehatan pun menjadi ancaman serius. Kehamilan pada usia muda membawa risiko komplikasi kesehatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan kehamilan pada usia dewasa. Organ reproduksi yang belum matang menyebabkan perempuan usia dini rentan mengalami perdarahan, preeklamsia, hingga kematian ibu. UNICEF mencatat bahwa kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan adalah penyebab utama kematian pada perempuan usia 15–19 tahun secara global. Ini fakta yang sangat tragis.

Ekonomi keluarga juga turut terdampak. Anak yang menikah dini cenderung tidak memiliki kemampuan mandiri secara finansial, sehingga berpotensi terjebak dalam kemiskinan yang berulang. Siklus kemiskinan ini sulit diputus apabila generasi muda terus menikah dini tanpa bekal pendidikan dan kemandirian ekonomi.

Upaya Mengubah Paradigma

Walaupun tantangannya besar, upaya untuk mengubah praktik pernikahan dini terus dilakukan. Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dan BKKBN telah berkomitmen menurunkan angka pernikahan dini dengan berbagai program edukasi dan kampanye kesadaran.

Namun, implementasi Undang-Undang Perkawinan yang menetapkan batas usia minimal menikah 19 tahun masih menemui kendala di lapangan. Kuatnya budaya lokal dan tradisi kerap kali menjadi penghalang utama dalam penegakan aturan ini. Oleh karena itu, pendekatan yang hanya bersifat hukum tidaklah cukup. Diperlukan pendekatan kultural yang melibatkan tokoh adat dan agama untuk menginterpretasikan ulang tradisi dengan perspektif yang menghargai hak-hak anak dan masa depan mereka.

Pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi di sekolah dan komunitas menjadi fondasi penting dalam upaya pencegahan pernikahan dini. Edukasi ini harus dimulai sejak dini agar anak-anak dan keluarga memahami risiko dan konsekuensi pernikahan dini.

Selain itu, pemberdayaan ekonomi keluarga miskin sangat menentukan. Banyak keluarga yang menikahkan anak mereka karena tekanan ekonomi, berharap biaya hidup berkurang dan ada satu beban yang berpindah. Program-program peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi akan membantu mengurangi tekanan tersebut.

Saatnya Memilih Masa Depan, Pernikahan dini bukan sekadar persoalan tradisi yang harus dipertahankan. Tradisi yang mengorbankan masa depan generasi muda adalah tradisi yang harus ditinjau ulang. Kita perlu menyadari bahwa menjaga tradisi tidak selalu harus dengan mempertahankan segala praktiknya, terutama jika praktik itu merugikan hak anak.

Masa depan anak-anak bukan milik masa lalu, tapi hak yang harus dijaga dan dihormati hari ini. Tradisi seharusnya menjadi payung yang melindungi, bukan jerat yang membelenggu. Melindungi masa depan anak-anak dari pernikahan dini berarti memberi mereka kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan memilih jalan hidupnya sendiri.

Sudah saatnya kita hentikan praktik yang membungkam masa depan anak-anak atas nama adat dan tradisi. Kita harus berani membuka ruang dialog, pendidikan, dan reformasi budaya demi generasi Indonesia yang lebih sehat, cerdas, dan sejahtera.

Pernikahan Dini dan Tradisi yang Membungkam Masa Depan
Admin Web HKI July 22, 2022
Share this post
Sign in to leave a comment