Skip to Content

Ketika Pernikahan Terjebak antara Cinta dan Gengsi

Oleh: Jesika (Mahasiswi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare)
July 29, 2022 by
Ketika Pernikahan Terjebak antara Cinta dan Gengsi
Admin Web HKI
| No comments yet

Pernikahan sejatinya adalah ikatan sakral yang menyatukan dua insan dengan janji di hadapan Tuhan. Namun, di era sekarang, seringkali makna sakral itu kabur di balik gemerlap pesta resepsi. Pertanyaan yang muncul adalah: apakah pernikahan hari ini benar-benar dimaknai sebagai ibadah, atau justru terjebak dalam ajang pamer kemewahan? Fenomena ini begitu nyata kita jumpai—resepsi meriah dengan dekorasi megah, hiburan mahal, dan undangan yang ribuan jumlahnya, sementara akad yang menjadi inti justru berlangsung sederhana, bahkan terkadang terkesan formalitas belaka.

Cinta sejatinya tidak membutuhkan panggung besar untuk diakui. Dua hati yang berjanji cukup dengan saksi dan doa restu orang tua sudah dianggap sah di mata agama maupun negara. Namun, realita sosial menempatkan gengsi di atas kesederhanaan. Ada anggapan bahwa tanpa resepsi megah, pernikahan terasa kurang bergengsi atau bahkan dianggap “tidak mampu.” Tekanan sosial inilah yang membuat banyak pasangan lebih memilih berutang demi pesta semalam, ketimbang menabung untuk kehidupan rumah tangga jangka panjang.

Budaya pesta besar ini semakin mengakar karena pergeseran nilai di masyarakat. Pernikahan sering dipandang bukan lagi sebagai ibadah personal, melainkan peristiwa sosial yang harus memancarkan status keluarga. Padahal, alangkah indahnya jika kebahagiaan lebih ditekankan pada kesiapan mental, emosional, dan spiritual pasangan yang menikah.

Tidak sedikit pasangan muda yang setelah menikah justru harus menanggung beban finansial berat akibat resepsi berlebihan. Utang menumpuk, gaji habis untuk melunasi biaya pesta, hingga akhirnya timbul pertengkaran dalam rumah tangga. Alih-alih menjadi awal yang manis, pernikahan justru berubah menjadi pintu masalah baru. Ironisnya, masyarakat yang tadinya menuntut pesta megah tidak ikut menanggung akibat beban ekonomi tersebut. Fenomena ini memperlihatkan bahwa gengsi sosial seringkali lebih menakutkan daripada tantangan rumah tangga itu sendiri. Resepsi yang megah hanya berlangsung sehari, tetapi dampak finansialnya bisa dirasakan bertahun-tahun. Apakah ini sebanding dengan hakikat pernikahan yang sejatinya adalah untuk membangun rumah tangga penuh cinta, sakinah, mawaddah, dan rahmah?

Sudah saatnya masyarakat kembali menempatkan pernikahan pada esensi yang sebenarnya. Akad nikah bukan sekadar formalitas, melainkan inti dari janji suci yang tak ternilai harganya. Resepsi boleh ada, tetapi semestinya disesuaikan dengan kemampuan, bukan semata-mata untuk memuaskan gengsi sosial. Orang tua juga memegang peranan penting. Alih-alih menuntut pesta besar untuk menjaga nama baik keluarga, seharusnya mereka lebih mendorong anak-anaknya mempersiapkan mental, ilmu rumah tangga, serta kemandirian ekonomi. Di sinilah letak kebijaksanaan: mendahulukan keberlanjutan kehidupan rumah tangga daripada sekadar kemeriahan satu malam.

Pernikahan adalah ibadah, bukan ajang pamer. Ia adalah ikatan cinta yang suci, bukan perlombaan gengsi. Resepinya sederhana: menempatkan akad sebagai pusat makna, dan menjadikan resepsi sebatas pelengkap, bukan beban. Ketika cinta dijalankan dengan kesederhanaan, maka ia akan tumbuh dengan ketulusan. Sebaliknya, ketika gengsi dijadikan landasan, rumah tangga bisa rapuh meski pernikahan diawali dengan pesta megah. Maka mari kita renungkan: apakah kita menikah untuk cinta, atau untuk gengsi?

Ketika Pernikahan Terjebak antara Cinta dan Gengsi
Admin Web HKI July 29, 2022
Share this post
Sign in to leave a comment