Fenomena tepuk sakinah akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat, khususnya di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) dan lembaga pendidikan Islam. Tepuk ini sering digunakan dalam Bimbingan Perkawinan (Bimwin) sebagai metode ice breaking yang bertujuan mencairkan suasana sekaligus memperkenalkan konsep keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Dengan irama yang ceria dan gerakan sederhana, tepuk sakinah mampu memikat perhatian peserta, termasuk calon pengantin dan generasi muda. Namun, popularitasnya memunculkan pertanyaan penting: apakah tepuk sakinah hanya sekadar gimmick hiburan yang dangkal, atau justru lahir dari ghirah (semangat spiritual) yang mendalam untuk memperkuat institusi keluarga?
Gimmick adalah strategi untuk menarik perhatian audiens agar pesan lebih mudah diterima dalam konteks komunikasi dakwah. Tepuk sakinah yang penuh gerakan dan ritme jelas memiliki daya tarik visual dan auditif yang kuat, sesuai dengan prinsip attention economy yang menyatakan bahwa perhatian manusia adalah sumber daya yang terbatas. Namun, jika tepuk sakinah berhenti pada level hiburan semata, ia berpotensi menjadi empty symbolism sebuah simbol tanpa substansi. Hal ini sejalan dengan peringatan Allah dalam QS. Ash-Shaff [61]:2-3:
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Ayat ini menegaskan pentingnya konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Jika tepuk sakinah hanya dihafalkan tanpa pemahaman dan implementasi, ia akan kehilangan makna sejatinya sebagai media pendidikan keluarga Islami.
Tepuk sakinah di sisi lain juga dapat dipandang sebagai manifestasi ghirah dalam berdakwah. Dalam Islam, ghirah berarti semangat membela dan mengembangkan nilai-nilai agama dengan penuh ketulusan dan kesungguhan. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl [16]:125:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
Ayat ini memberikan dasar bahwa metode dakwah boleh bersifat kreatif selama tetap membawa pesan yang benar dan bermakna. Rasulullah SAW. juga bersabda dalam hadits riwayat Imam Bukhari:
“Permudahlah dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.”(HR. Bukhari, no. 69)
Hadits ini menegaskan bahwa dakwah sebaiknya dirancang agar audiens merasa nyaman dan termotivasi, bukan tertekan atau menjauh. Dalam konteks ini, Tepuk Sakinah dapat menjadi sarana yang menyenangkan untuk menginternalisasi nilai keluarga Islami. Dengan pendekatan experiential learning, di mana pengalaman langsung menjadi sarana pembelajaran, Tepuk Sakinah mampu mengikat memori peserta sehingga pesan yang disampaikan lebih mudah diingat dan diamalkan.
Para ulama klasik juga menekankan pentingnya keseimbangan antara substansi dan metode. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menyatakan bahwa amal yang dilakukan dengan niat tulus akan mendatangkan manfaat, sedangkan amal yang hanya bertujuan riya’ atau sekadar mencari popularitas akan menjadi sia-sia. Jika tepuk sakinah hanya dijadikan sarana pencitraan tanpa penanaman nilai yang mendalam, maka ia akan kehilangan ruh dakwah. Namun, jika dilakukan dengan niat ikhlas dan dibarengi penjelasan yang substansial, tepuksSakinah dapat menjadi amal jariyah, yang manfaatnya terus mengalir bahkan setelah kegiatan berakhir.
Fenomena ini sekaligus menggambarkan tantangan dakwah di era modern: bagaimana menggabungkan kreativitas dengan spiritualitas. Jika dakwah hanya mengandalkan ghirah tanpa strategi yang menarik, pesan bisa terasa kaku dan sulit diterima. Sebaliknya, jika terlalu menekankan gimmick tanpa ruh spiritual, maka dakwah berisiko kehilangan otentisitas. Tepuk Sakinah sebaiknya dipandang sebagai jembatan, bukan tujuan akhir. Ia dapat menarik perhatian peserta, tetapi setelah itu harus diikuti dengan proses pendalaman makna melalui diskusi, musyawarah, dan teladan nyata tentang bagaimana mewujudkan keluarga sakinah dalam kehidupan sehari-hari.
Membangun keluarga sakinah adalah cita-cita luhur yang ditegaskan dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam QS. Ar-Rum [30]:21:
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Ayat ini menunjukkan bahwa keluarga sakinah bukan sekadar idealisme, tetapi juga perintah Allah yang harus diwujudkan melalui usaha yang nyata.
Sebagai kesimpulan, tepuk sakinah adalah cerminan bagaimana dakwah beradaptasi dengan zaman. Sebagai gimmick, ia dapat menarik perhatian dan mencairkan suasana, namun substansi dakwah harus tetap menjadi fokus utama. Jika dilakukan dengan ghirah dan niat ikhlas, Tepuk Sakinah dapat berkembang dari sekadar hiburan menjadi gerakan transformasi sosial yang menanamkan nilai-nilai sakinah, mawaddah, wa rahmah dalam keluarga. Dengan keseimbangan antara kreativitas dan spiritualitas, Tepuk Sakinah dapat berperan sebagai media dakwah yang efektif, membawa keberkahan bagi keluarga dan masyarakat, serta menjadi langkah nyata menuju terwujudnya keluarga Islami yang kokoh dan diridai Allah SWT.