Skip ke Konten

Pernikahan Dini dalam Literatur Fiqih Klasik dan Relevansinya pada Masa Kini

Tiara (Mahasiswi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare)
12 September 2024 oleh
Pernikahan Dini dalam Literatur Fiqih Klasik dan Relevansinya pada Masa Kini
Admin Web HKI
| Belum ada komentar

Pernikahan dini boleh sah secara fiqih, tapi belum tentu maslahat di realitas kini

Pernikahan dini merupakan salah satu tema yang terus diperdebatkan dari masa ke masa. Dalam literatur fiqih klasik, pernikahan dini tidak dianggap sebagai sesuatu yang bermasalah sepanjang terpenuhi syarat dan rukunnya. Namun, ketika fenomena ini dibawa ke konteks modern, muncul banyak kritik terkait relevansi dan dampaknya terhadap kesehatan, pendidikan, serta kualitas kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, membandingkan pandangan ulama klasik dan ulama kontemporer menjadi penting untuk memahami bagaimana hukum Islam bekerja dalam merespons perubahan zaman.

Pandangan Fiqih Klasik: Imam al-Syafi‘i dan Ulama Lain

Dalam mazhab Syafi‘i, pernikahan dini pada dasarnya sah secara hukum. Imam al-Syafi‘i dalam al-Umm menjelaskan bahwa seorang ayah berhak menikahkan anak perempuannya meskipun masih kecil, bahkan sebelum baligh, selama akad tersebut dipandang membawa maslahat bagi si anak. Dalam salah satu pendapatnya beliau menulis:

"Jika seorang bapak menikahkan anak perempuannya yang masih kecil, maka pernikahan itu sah, baik ia sudah baligh maupun belum." (al-Umm, Juz V, hlm. 24).

Hal ini sejalan dengan pandangan jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, meskipun terdapat variasi dalam batasan pelaksanaan tasharruf wali terhadap anak. Para ulama klasik pada umumnya memandang bahwa tidak ada syarat umur minimum tertentu dalam akad nikah, karena inti sahnya pernikahan adalah terpenuhi rukun dan syaratnya, bukan usia pasangan.

Konteks sosial masyarakat klasik turut memengaruhi pandangan ini. Pada masa itu, menikahkan anak perempuan lebih awal sering kali dipandang sebagai bentuk perlindungan kehormatan (‘irdh), menjaga nasab, serta strategi untuk memperkuat ikatan sosial antar keluarga atau kabilah. Dari perspektif itu, pernikahan dini dianggap wajar dan sesuai kebutuhan zaman.

Pergeseran Pandangan dalam Konteks Kontemporer

Ketika kita beralih ke era modern, pandangan tersebut menghadapi tantangan besar. Realitas sosial, budaya, dan kesehatan pada masa kini sangat berbeda dengan masa klasik. Organisasi kesehatan dunia (WHO) menegaskan bahwa pernikahan dini terutama pada anak perempuan di bawah 18 tahun sering menimbulkan risiko serius, seperti komplikasi kehamilan, putus sekolah, keterbatasan ekonomi, hingga tingginya angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga.

Ulama kontemporer kemudian mengaitkan hal ini dengan prinsip maqāṣid al-syarī‘ah, yakni tujuan-tujuan hukum Islam. Pernikahan dini yang menimbulkan mudarat dianggap bertentangan dengan prinsip menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs), menjaga akal (ḥifẓ al-‘aql), dan menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl). Misalnya, Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Awlawiyyat menekankan bahwa hukum Islam harus membaca realitas sosial dan mendahulukan kemaslahatan umat. Demikian pula, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam beberapa fatwanya mendorong  agar pernikahan dilakukan setelah mencapai kematangan fisik dan psikis, bukan semata-mata mengikuti pandangan klasik secara tekstual.

Bahkan di banyak negara Islam, hukum positif kini menetapkan batas usia minimum perkawinan, umumnya 18 tahun, sebagai upaya melindungi anak dari risiko pernikahan dini. Meskipun aturan ini secara fiqih dapat diperdebatkan, ia merepresentasikan upaya mengaktualisasikan nilai syariat dalam konteks kekinian.

Relevansi Pandangan Klasik pada Masa Kini

Pertanyaan pentingnya adalah: apakah pandangan Imam al-Syafi‘i dan ulama klasik tentang bolehnya pernikahan dini masih relevan saat ini? Menurut saya, pandangan tersebut harus dipahami dalam konteks historis. Pada masa klasik, struktur sosial dan kebutuhan masyarakat memang membuat pernikahan dini lebih diterima. Akan tetapi, di era modern, situasi dan tantangan yang berbeda menuntut penafsiran hukum yang lebih responsif.

Imam al-Syafi‘i sendiri sebenarnya menekankan pentingnya maslahat dalam setiap praktik hukum. Maka, jika pernikahan dini di masa kini lebih banyak melahirkan mudarat ketimbang maslahat, maka membatasinya adalah langkah yang lebih sesuai dengan semangat syariat. Dengan kata lain, substansi ajaran fiqih klasik tetap dihargai, tetapi aplikasinya harus disesuaikan dengan realitas kontemporer.

Penutup

Menurut saya, pernikahan dini sebaiknya tidak dilihat hanya sebatas sah atau tidak sah menurut fiqih klasik, tetapi juga harus dipertimbangkan dari perspektif maqāṣid al-syarī‘ah. Pandangan Imam al-Syafi‘i dan ulama klasik tetap bernilai sebagai landasan normatif, tetapi dalam penerapan nyata, pendapat ulama kontemporer yang menekankan kematangan fisik, psikis, dan sosial jauh lebih relevan untuk menjawab tantangan zaman. Dengan demikian, Islam tetap terjaga relevansinya sebagai agama yang membawa rahmat, kemaslahatan, dan keadilan bagi setiap zaman.

di dalam OPINI
Pernikahan Dini dalam Literatur Fiqih Klasik dan Relevansinya pada Masa Kini
Admin Web HKI 12 September 2024
Share post ini
Masuk untuk meninggalkan komentar