Skip ke Konten

Hak Asuh atau Hak Anak? Menimbang Pembatalan Kekuasaan Orang Tua

Nur Asia (Mahasiswi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam IAIN Parepare)
20 Juni 2024 oleh
Hak Asuh atau Hak Anak? Menimbang Pembatalan Kekuasaan Orang Tua
Admin Web HKI
| Belum ada komentar

Hak asuh bukan semata hak orang tua, melainkan hak anak untuk mendapatkan perlindungan terbaik.

Isu hak asuh anak selalu menjadi sorotan dalam diskusi hukum keluarga, terutama ketika orang tua dinilai lalai, melakukan kekerasan, atau menelantarkan anak. Pertanyaan mendasar muncul: apakah hak asuh adalah “hak mutlak” orang tua, atau sebaliknya, hak anak yang harus dipenuhi oleh orang tua? Persoalan ini semakin relevan ketika berbicara tentang pembatalan kekuasaan orang tua oleh pengadilan.

Pandangan Fiqih Klasik dan Perspektif Sosial Lama

Dalam literatur fiqih klasik, orang tua, khususnya ayah, memegang otoritas penuh terhadap anak. Kekuasaan ini dipandang sebagai hak sekaligus kewajiban yang melekat, selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Hak asuh (ḥaḍānah) umumnya diatur berdasarkan kedekatan biologis dan kapasitas mendidik. Pada masa klasik, keluarga besar dan masyarakat turut berperan, sehingga kasus penelantaran anak jarang dibahas secara eksplisit. Fokus utamanya adalah menjaga nasab, melindungi anak, dan memastikan pengasuhan berlangsung sesuai norma masyarakat.

Pergeseran Pandangan Kontemporer

Dalam konteks modern, hak asuh tidak lagi dipandang hanya sebagai kekuasaan orang tua, tetapi sebagai bagian dari pemenuhan hak anak. Undang-Undang Perlindungan Anak di Indonesia maupun konvensi internasional menekankan prinsip “the best interest of the child” (kepentingan terbaik anak). Artinya, jika orang tua gagal menjalankan kewajibannya, negara berhak mencabut atau membatalkan kekuasaannya demi melindungi hak anak. Dari perspektif maqāṣid al-syarī‘ah, langkah ini sejalan dengan prinsip menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs), menjaga akal (ḥifẓ al-‘aql), dan menjaga keturunan (ḥifẓ al-nasl).

Relevansi dan Analisis

Pembatalan kekuasaan orang tua bukanlah bentuk penghukuman semata, tetapi mekanisme perlindungan. Anak bukanlah “milik” orang tua, melainkan individu dengan hak asasi. Dengan demikian, hak asuh sebaiknya dipahami sebagai mandat yang bisa dicabut jika dilanggar. Hal ini menunjukkan bahwa kepentingan anak lebih utama daripada klaim kekuasaan orang tua.

Penutup

Menurut saya, hak asuh harus ditempatkan bukan sebagai hak absolut orang tua, melainkan hak anak yang harus dipenuhi. Pembatalan kekuasaan orang tua adalah wujud nyata kehadiran negara dalam memastikan perlindungan terbaik bagi anak. Dengan demikian, kita harus bergeser dari paradigma “hak asuh orang tua” menuju “hak anak untuk diasuh”.

di dalam OPINI
Hak Asuh atau Hak Anak? Menimbang Pembatalan Kekuasaan Orang Tua
Admin Web HKI 20 Juni 2024
Share post ini
Masuk untuk meninggalkan komentar