Skip ke Konten

Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum,Agama dan Sosial

Fahruddin (Mahasiswa Jurusan Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam Institut Agama Islam Negeri Parepare)
15 Juli 2023 oleh
Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum,Agama dan Sosial
Admin Web HKI
| Belum ada komentar

Nikah Sirri Memang Sah Di Mata Agama Tapi Tidak Tercatat Secara Negara

Pernikahan merupakan ikatan yang sakral antara seorang laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang harmonis, bahagia, dan sejahtera. Dalam konteks Indonesia, perkawinan tidak hanya diatur oleh agama, tetapi juga oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  yang menekankan bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan dicatatkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Namun, dalam praktiknya, masih banyak terjadi pernikahan yang dilakukan tanpa pencatatan negara yang dikenal dengan istilah nikah sirri (nikah siri). Pernikahan ini sering kali terjadi diam-diam dan hanya melibatkan wali, saksi, serta pihak keluarga tanpa adanya dokumen resmi negara. Fenomena nikah sirri telah menjadi isu yang kompleks dan kontroversial di masyarakat karena melibatkan aspek hukum agama, hukum negara, serta norma sosial dan budaya.

Bagi sebagian kalangan, nikah sirri dianggap sah secara agama selama memenuhi rukun dan syarat perkawinan seperti adanya wali, dua saksi, dan ijab qabul. Akan tetapi, dari perspektif hukum negara, nikah sirri menimbulkan berbagai permasalahan karena tidak memiliki kekuatan hukum, terutama dalam hal perlindungan hak perempuan dan anak. Oleh karena itu, perdebatan mengenai nikah sirri selalu aktual dan memerlukan kajian yang mendalam.

Tulisan ini mencoba memberikan opini yang komprehensif mengenai fenomena nikah sirri, mencakup pengertian, faktor penyebab, dampak, serta solusi yang dapat ditempuh dalam menyikapi praktik tersebut.

Dalam ajaran Islam, pernikahan merupakan ibadah yang memiliki kedudukan mulia. Nikah dianggap sah apabila terpenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan syariat, yakni adanya mempelai laki-laki dan perempuan, wali nikah, dua saksi, serta ijab dan qabul. Jika syarat ini terpenuhi, maka secara agama pernikahan tersebut dianggap sah.

Nikah sirri, dalam pandangan sebagian ulama, termasuk sah apabila memenuhi ketentuan syariat meskipun tidak dicatatkan di kantor urusan agama. Hal ini karena pencatatan nikah bukanlah syarat sah, melainkan syarat administratif. Beberapa orang memilih nikah sirri dengan alasan untuk menghindari zina, menjaga kehormatan diri, atau karena tidak mendapat izin dari orang tua atau istri pertama.

Namun, ulama kontemporer banyak yang mengkritisi praktik nikah sirri karena dapat menimbulkan mudharat lebih besar dibanding manfaatnya. Dalam kaidah fiqh disebutkan "Dar'ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih" yang berarti mencegah kerusakan harus lebih diutamakan daripada mengambil manfaat. Jika nikah sirri menimbulkan kerusakan seperti penelantaran perempuan dan anak, maka praktik ini harus dihindari.

Dalam hukum positif Indonesia, setiap perkawinan wajib dicatatkan agar memiliki kekuatan hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi:

"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Pencatatan perkawinan berfungsi untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pasangan suami istri, terutama bagi perempuan dan anak. Jika pernikahan tidak dicatatkan, maka secara hukum negara pernikahan tersebut tidak diakui , meskipun secara agama sah. Dampaknya, istri tidak dapat menuntut hak-haknya secara legal, seperti nafkah, pembagian harta bersama, maupun warisan.

Selain itu, anak yang lahir dari nikah sirri berpotensi mengalami kesulitan dalam memperoleh akta kelahiran dan hak-hak perdata lainnya. Negara juga kesulitan dalam mengontrol data perkawinan dan populasi, yang dapat berdampak pada kebijakan publik.

Banyak pasangan yang memilih nikah sirri karena alasan biaya. Pencatatan perkawinan melalui jalur resmi memerlukan sejumlah biaya administrasi yang dianggap memberatkan, terutama bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Dengan nikah sirri, pasangan merasa dapat menikah tanpa mengeluarkan biaya besar.

Dalam beberapa budaya, nikah sirri dilakukan untuk menjaga nama baik keluarga, terutama jika perempuan hamil di luar nikah. Dengan menikah secara diam-diam, keluarga berharap dapat menghindari aib sosial. Selain itu, dalam masyarakat yang masih memegang tradisi poligami, sebagian laki-laki memilih nikah sirri untuk menghindari izin dari istri pertama.

Kurangnya literasi hukum di masyarakat juga menjadi penyebab utama. Banyak yang tidak memahami pentingnya pencatatan perkawinan dan dampak hukum dari nikah sirri. Akibatnya, mereka hanya berpegang pada aspek agama tanpa memperhatikan konsekuensi hukum negara.

Dampak negatif dari nikah sirri sangat besar, terutama bagi perempuan dan anak. Mereka menjadi pihak yang paling rentan terhadap penelantaran dan ketidakpastian status hukum. Oleh karena itu, masyarakat perlu memahami pentingnya pencatatan perkawinan sebagai bentuk tanggung jawab dan perlindungan hukum.

Solusi yang komprehensif diperlukan untuk mengatasi fenomena ini, termasuk edukasi hukum, kemudahan pencatatan, penegakan hukum yang tegas, serta peran aktif tokoh agama dan masyarakat. Dengan demikian, diharapkan praktik nikah sirri dapat diminimalisir sehingga setiap perkawinan di Indonesia tidak hanya sah secara agama, tetapi juga memiliki kekuatan hukum yang jelas, demi mewujudkan keluarga yang harmonis dan sejahtera.

di dalam OPINI
Nikah Sirri Dalam Perspektif Hukum,Agama dan Sosial
Admin Web HKI 15 Juli 2023
Share post ini
Masuk untuk meninggalkan komentar