OPINI- Berdamailah Dengan
Keadaan Dan Tak Merawariskan
Hal Buruk Kepada Anak
Perceraian adalah peristiwa yang tidak hanya berdampak pada suami dan istri sebagai pihak yang bercerai, tetapi juga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap anak-anak. Dalam konteks hukum Indonesia, perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi umat Islam. Perceraian memang diperbolehkan, namun dalam prinsipnya ia merupakan hal yang tidak dianjurkan kecuali sebagai jalan terakhir ketika rumah tangga tidak lagi bisa dipertahankan.
Sayangnya, dalam banyak kasus, perceraian seringkali diiringi dengan konflik berkepanjangan, perebutan hak asuh anak, dan bahkan penelantaran anak. Padahal, anak merupakan pihak yang paling rentan dan paling menderita akibat perpisahan orang tua. Anak kehilangan figur keluarga utuh, yang dapat berdampak pada perkembangan psikologis, pendidikan, dan masa depan mereka.
Di sinilah pentingnya peran orang tua pasca perceraian. Meskipun ikatan pernikahan telah putus, tanggung jawab orang tua terhadap anak tidak berakhir. Kedua orang tua tetap berkewajiban memberikan kasih sayang, perhatian, pendidikan, dan kebutuhan hidup anak. Dalam opini ini, saya berpendapat bahwa keberhasilan orang tua dalam menjalankan perannya pasca perceraian akan menentukan masa depan anak, serta menjadi indikator kematangan emosional dan tanggung jawab moral dari orang tua itu sendiri.
Sebelum membahas peran orang tua, penting untuk memahami dampak yang ditimbulkan perceraian terhadap anak. Dampak ini sering kali bersifat jangka panjang dan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan anak. Perceraian sering menimbulkan trauma emosional bagi anak. Anak bisa merasa kehilangan rasa aman, cemas, dan bahkan menyalahkan diri sendiri atas perpisahan orang tuanya. Banyak anak yang mengalami depresi, rasa rendah diri, dan kesulitan mempercayai orang lain.
Jika orang tua tidak mampu memberikan penjelasan yang bijak dan pendampingan yang memadai, anak berisiko mengalami gangguan psikologis yang mempengaruhi perkembangan mereka hingga dewasa. Konflik orang tua sering membuat perhatian terhadap pendidikan anak terabaikan. Anak yang mengalami perceraian orang tua cenderung memiliki prestasi akademik yang menurun karena sulit berkonsentrasi, kehilangan motivasi belajar, dan kurang mendapat dukungan moral dari orang tua.
Anak dari keluarga yang bercerai sering menghadapi stigma sosial dari lingkungan sekitarnya. Hal ini bisa mempengaruhi interaksi sosial mereka, membuat mereka merasa terasing atau berbeda dari teman-temannya. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini dapat memicu perilaku menyimpang seperti kenakalan remaja atau penyalahgunaan narkoba.Dampak-dampak ini menunjukkan bahwa perceraian bukan hanya masalah pribadi suami istri, tetapi juga merupakan persoalan sosial yang memerlukan perhatian bersama. Oleh karena itu, peran orang tua pasca perceraian menjadi sangat krusial.
Meskipun perceraian memutuskan ikatan pernikahan, status sebagai orang tua tidak pernah hilang. Anak tetap memiliki hak untuk mendapat kasih sayang, perhatian, dan pemenuhan kebutuhan dari kedua orang tuanya. Berikut adalah beberapa peran utama yang harus dijalankan oleh orang tua pasca perceraianPeran pertama yang paling penting adalah menjaga kondisi psikologis anak. Orang tua harus mampu memberikan penjelasan kepada anak tentang perceraian dengan bahasa yang mudah dipahami, tanpa menyalahkan pihak lain.
Anak perlu diyakinkan bahwa perceraian bukanlah kesalahan mereka dan bahwa mereka tetap dicintai oleh kedua orang tuanya. Orang tua juga harus menghindari pertengkaran di depan anak karena hal itu dapat memperburuk trauma yang dialami anak. Contoh positif dari peran ini adalah ketika kedua orang tua tetap hadir bersama dalam momen penting anak, seperti wisuda atau ulang tahun, untuk menunjukkan bahwa mereka tetap mendukung anak meskipun sudah tidak hidup bersama.
Perceraian sering kali berdampak pada kondisi ekonomi keluarga. Oleh karena itu, orang tua, khususnya ayah sebagai penanggung nafkah utama, tetap berkewajiban memberikan dukungan finansial. Hal ini diatur dalam Pasal 41 huruf (b) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa ayah bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan anak. Tidak jarang, setelah perceraian, ayah mengabaikan kewajiban ini sehingga ibu harus menanggung beban sendirian. Hal ini tentu berdampak negatif terhadap anak. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan ekonomi harus menjadi prioritas bersama.
Selain orang tua, negara dan masyarakat juga memiliki peran dalam mendukung anak pasca perceraian. Pemerintah perlu memperkuat regulasi terkait hak anak dan mekanisme penegakan hukum terhadap orang tua yang lalai. Misalnya, pengadilan harus memastikan bahwa putusan perceraian mencakup pengaturan jelas tentang hak asuh, nafkah, dan hak kunjungan. Lembaga sosial dan pendidikan juga perlu memberikan pendampingan psikologis kepada anak-anak yang mengalami perceraian orang tua. Dengan dukungan yang memadai, anak dapat lebih mudah beradaptasi dengan situasi baru.
Menurut saya, perceraian adalah pilihan yang sah dan kadang tidak terhindarkan, terutama jika rumah tangga sudah penuh kekerasan atau konflik yang membahayakan kesehatan mental. Namun, perceraian tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan tanggung jawab sebagai orang tua.Saya berpendapat bahwa orang tua pasca perceraian harus menunjukkan kedewasaan dan empati yang tinggi. Anak tidak boleh dijadikan korban atau alat untuk melampiaskan amarah dan dendam. Mereka berhak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang meskipun orang tuanya tidak lagi bersama. Negara juga perlu memperkuat sistem hukum agar hak anak benar-benar terlindungi. Misalnya, membuat mekanisme yang memudahkan penagihan nafkah anak dan menyediakan layanan konseling keluarga secara gratis. Dengan demikian, dampak perceraian dapat diminimalisir.