Meninjau Kembali Ketentuan Masa Iddah: Perspektif Laki-Laki dalam Hukum Islam
Kita tau kan bahwa Masa Iddah itu hanya ada pada perempuan, nah ternyata masa iddah bukan hanya berlaku pada perempuan tetapi juga berlaku pada laki-laki. Ayo menelaah lebih dalam lagi mengenai Masa Iddah Bagi Laki-laki ?
Masa iddah dalam hukum Islam merupakan periode tertentu yang wajib dijalani oleh seorang perempuan setelah terjadinya perceraian atau ditinggal wafat oleh suami. Ketentuan ini telah diatur secara jelas dalam Al-Qur'an, seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 228 yang menetapkan bahwa perempuan yang ditalak wajib menunggu tiga kali masa suci sebelum dapat menikah lagi. Namun, diskursus yang sering muncul adalah mengapa ketentuan iddah hanya diberlakukan bagi perempuan, sedangkan laki-laki tidak memiliki kewajiban serupa. Pertanyaan ini memunculkan perdebatan dalam konteks keadilan dan kesetaraan gender dalam hukum keluarga Islam, khususnya di era modern yang mengedepankan keseimbangan hak dan kewajiban. (Departemen Agama RI. (2015). Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an).
Landasan Normatif Masa Iddah
Dalam perspektif fikih klasik, kewajiban iddah bagi perempuan didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, untuk memastikan tidak adanya kehamilan yang dapat menimbulkan kerancuan nasab. Kedua, sebagai bentuk penghormatan terhadap ikatan pernikahan yang telah berakhir, terutama dalam kasus kematian suami. Al-Jazairi (2003) dalam Kitab al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah menjelaskan bahwa iddah merupakan syariat yang bersifat ta'abbudi (ibadah) sekaligus ta'aqquli (rasional), karena memiliki hikmah yang dapat dipahami secara logis. Dengan demikian, iddah bukan sekadar ritual, tetapi juga mekanisme perlindungan sosial dan nasab dalam masyarakat Muslim. (Al-Jazairi, A. (2003). Kitab al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Fikr).
Ketiadaan Iddah bagi Laki-Laki dalam Hukum Islam
Berbeda dengan perempuan, laki-laki tidak diwajibkan menjalani iddah setelah perceraian atau kematian istri. Dalam kitab-kitab fikih, hal ini dijelaskan karena secara biologis laki-laki tidak mengalami kehamilan, sehingga tidak ada kekhawatiran terkait penentuan nasab. Namun, jika ditinjau lebih dalam, ketiadaan iddah bagi laki-laki sering dianggap sebagai bentuk ketimpangan dalam pembagian tanggung jawab setelah perceraian. Misalnya, seorang laki-laki dapat langsung menikah kembali sesaat setelah bercerai, yang dalam beberapa kasus dapat menimbulkan konflik emosional maupun sosial bagi pihak perempuan maupun anak-anak yang ditinggalkan. (Ibn Qudamah. (1997). Al-Mughni. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah).
Perspektif Maqashid Syariah
Jika ditinjau melalui pendekatan maqashid syariah (tujuan hukum Islam), keberadaan iddah bertujuan untuk menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (al-dharuriyat al-khams). Dalam konteks ini, sebagian ulama kontemporer mengajukan gagasan bahwa laki-laki juga perlu memiliki bentuk iddah, meskipun tidak sama dengan perempuan, untuk menjaga keturunan dan keharmonisan sosial. Misalnya, seorang laki-laki yang baru bercerai disarankan untuk menunggu waktu tertentu sebelum menikah lagi demi memastikan tanggung jawab terhadap keluarga sebelumnya terpenuhi. Pendekatan ini sejalan dengan konsep maslahah mursalah yang digunakan untuk merespons persoalan sosial yang tidak diatur secara eksplisit dalam teks klasik. (Al-Syatibi, A. I. (2003). Al-Muwafaqat fi Usul al-Shariah. Beirut: Dar al-Ma'rifah).
Konteks Sosial dan Psikologis
Selain faktor hukum, aspek sosial dan psikologis juga menjadi pertimbangan penting dalam membicarakan iddah bagi laki-laki. Perceraian bukan hanya memutus hubungan antara suami dan istri, tetapi juga berdampak pada kondisi mental anak dan pihak keluarga besar. Psikolog keluarga, Friedman (2010), menjelaskan bahwa waktu transisi pasca perceraian sangat penting untuk memberikan ruang penyembuhan emosional bagi semua pihak. Jika seorang laki-laki langsung menikah lagi tanpa jeda waktu, hal ini dapat memperburuk trauma yang dialami oleh anak-anak maupun mantan pasangan, sehingga memicu ketegangan dalam keluarga yang baru maupun yang lama. (Friedman, M. (2010). Family Nursing: Theory and Practice. Pearson Education).
Pandangan Ulama Kontemporer
Beberapa pemikir Islam kontemporer mulai mengangkat wacana tentang pentingnya bentuk iddah bagi laki-laki. Misalnya, Nasaruddin Umar (2010) dalam bukunya Argumen Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur'an menekankan perlunya reinterpretasi teks-teks keagamaan untuk menjawab tantangan zaman. Menurutnya, meskipun secara biologis laki-laki tidak memerlukan iddah, namun secara sosial dan moral, jeda waktu setelah perceraian dapat membantu menciptakan keseimbangan dan keadilan dalam keluarga. Hal ini juga dapat menjadi solusi terhadap praktik poligami yang sering dilakukan tanpa pertimbangan yang matang. (Umar, N. (2010). Argumen Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur'an. Jakarta: Paramadina).
Meskipun hukum Islam klasik tidak mewajibkan iddah bagi laki-laki, perkembangan sosial modern menunjukkan bahwa konsep serupa tetap relevan untuk dipertimbangkan. Masa tunggu bagi laki-laki tidak harus bersifat legal-formal seperti pada perempuan, tetapi dapat berupa anjuran moral dan sosial untuk memberikan waktu refleksi dan penyelesaian tanggung jawab terhadap keluarga sebelumnya. Dengan demikian, gagasan tentang iddah bagi laki-laki dapat dipahami sebagai bentuk inovasi pemikiran yang tetap berakar pada nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan keluarga yang diajarkan dalam Islam. (Zuhaili, W. (2011). Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus: Dar al-Fikr).